Akademisi hukum IAIN Ternate, Hasanuddin Hidayat. (Istimewa) |
emas NHM, seorang pengusaha yang dikenal sangat dermawan terhadap masyarakat
di Kabupaten Halmahera Utara.
Tuduhan yang disebarkan oleh M. I. Galela melalui berbagai media menyebutkan
bahwa pemilik NHM, yang selama ini sangat dihormati oleh masyarakat Maluku Utara,
terlibat dalam praktik suap terhadap mantan Gubernur Maluku Utara. Mantan gubernur
tersebut saat ini sedang menjalani hukuman terkait kasus suap proyek dan jual beli
jabatan. Namun, tuduhan yang disampaikan oleh M. I. Galela tidak terbukti kebenarannya, khususnya terkait dengan izin tambang yang melibatkan pemilik NHM.
Pihak kepolisian telah menetapkan M. I. Galela sebagai tersangka atas tindakan penyebaran informasi yang tidak akurat dan merugikan pihak pemilik NHM.
"Penyebaran berita bohong tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang, tetapi
juga berpotensi memicu ketidakpercayaan publik terhadap individu yang bersangkutan,
termasuk pemilik tambang NHM," ujar Iksan Maujud, kuasa hukum pemilik NHM. Selasa, (21/1/2025).
Iksan Maujud juga menegaskan bahwa kliennya, pemilik NHM, tidak terlibat dalam
tindakan suap sebagaimana yang dituduhkan oleh M. I. Galela.
"Pemilik NHM memiliki kontrak karya yang sah dengan izin yang dikeluarkan langsung oleh negara dan ditandatangani oleh Presiden, sama seperti izin pertambangan lainnya. Tuduhan yang disebarkan oleh Iram jelas tidak berdasar," jelasnya.
Kuasa hukum NHM mengapresiasi langkah tegas pihak kepolisian dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan.
"Kami berharap agar proses hukum berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan M. I. Galela harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya," kata Iksan Maujud.
Hasanuddin Hidayat, seorang akademisi hukum dari IAIN Ternate, memberikan pandangan terkait kasus ini. Dari perspektif hukum positif, Hasanuddin menjelaskan bahwa penyebaran berita bohong yang merugikan individu atau kelompok tertentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUITE, yang dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp.1 miliar rupiah.
"Polisi memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh kuasa hukum NHM terkait penyebaran berita hoaks ini. M. I. Galela harus menjalani proses hukum yang berlaku," tegas Hasanuddin.
Hasanuddin juga menambahkan, penegakan hukum terhadap penyebaran berita hoaks
merupakan langkah penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap
sistem hukum yang ada.
"Penyidik yang menetapkan tersangka, menangkap, atau menahan seseorang tentu telah memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam hukum. Semua tindakan tersebut sah dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang," pungkasnya.
Sebagai seorang kandidat Doktor Ilmu Hukum, Hasanuddin menegaskan perbedaan
antara kebebasan menyampaikan pendapat dan pencemaran nama baik. Menurutnya,
langkah hukum yang diambil terhadap M. I. Galela bukanlah bentuk pembungkaman
terhadap demokrasi, tetapi upaya untuk menegakkan hukum dan memastikan
kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak
benar dan merugikan pihak lain.
"Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghormati kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, masyarakat harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang diterima
dan memastikan kebenarannya sebelum menyebarkannya," cetus Hasanuddin.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab dalam menyebarkan informasi,
serta perlunya menjaga kepercayaan publik terhadap individu maupun institusi. Penegakan hukum terhadap penyebaran berita bohong merupakan langkah krusial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Masyarakat diharapkan semakin bijaksana dalam menerima dan menyebarkan informasi agar tidak terjebak dalam arus disinformasi yang dapat merugikan banyak pihak.
====
Penulis : Tim.
Editor : Redaksi.