Oleh: Muhamad Julham, S.Hut., M.HutDosen Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku
INVESTASI pertambangan di Maluku Utara tak sekedar merusak lingkungan, akan tetapi mengancam ruang hidup warga suku Togutil yang mendiami belantara hutan Halmahera. Akibatnya, kehidupan mereka menjadi terganggu sehingga menjadi ancaman bagi masyarakat bahkan sesama mereka.Siang itu, tetap pada hari Jum’at, 14 Desember 2024, saya bersama rombongan yang terdiri dari Mahasiswa dan Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Nuku, Tidore berjumlah sekira 60 orang menggunkan 2 unit Dum Truk dan 2 unit Mini Bus tiba di Suaka Paruh Bengkok , Resort Tayawi, Taman Nasional Aketajawe Lolobata tepatnya di Dusun Trans Tayawi Desa Tayawi, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan. Kami disambut baik oleh pihak Taman Nasioanal, mereka memberikan sejumlah fasilitas kekapada kami, mulai dari tempat nginap, tour guet dan segala keperluan kami.
Jum’at malam kami mengadakan brifing untuk keesokanya mengadakan kegiatan praktikum di dalam kawasan hutan. Sayangnya, ada permintaan kami ditolak oleh pihak Resort, salah satunya adalah masuk lebih jauh di dalam kawasasan hutan.
“Saat ini kami belum bisa mengijinkan para tamu untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan,” ucap Kepala Resort, Saleh.
Mendengar hal itu, spontan saya langsung bertanya. “Maaf pak, memangnya kenapa?”
Ia langsung menguraikan permasalahnnya, seiring aktivitas pertambangan di wilayah Halmahera mulai gencar, pembukan hutan terus dilakukan di Wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, maka warga suku yang berada di kawasan tersebut mulai memasuki kawasan Taman Nasional. Mereka (warga suku) bahkan tidak segan-segan melukai orang asing.
“Bahkan warga suku Tobelo Dalam yang hari ini sudah hidup berbaur dengan masyarakat ketika mereka melakukan aktivitas di hutan pun mereka takut,” ungkap Saleh.
Saleh bilang, temuan terbaru, saat melakukan patrol rutin timnya menemukan banyak sekali jeratan manusia yang dibuat di dalam kawasan. Hal ini otomatis sangat berbahaya bagi keselamatan manusia yang beraktifitas di dalam kawasan hutan.
“Saya langsung membuat laporan kepada Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata sehingga beliau langsung memerintahkan untuk membuat batasan larangan bagi pengunjung,” jelasnya.
Mendengar hal tersebut, kami bersama tim bersepakat untuk tidak melakukan aktivitas Praktikum di dalam kawasan. Setelah menyepakati hal-hal teknis Praktikum sejumlah mata kuliah Program Studi Manajemen Hutan kami langsung menutup brifing lalu istirahat untuk persiapan kegiatan esok pagi.
Sabtu, 15 Desember 2024 tepat pukul 08.00 WIT kami berkumpul untuk bergegas menuju Resort yang jaraknya sekitar 4,6 Kilometer. Dengan menggunakan 2 unit Pick Up kami dan mahasiswa tiba di Resort. Kami langsung menggelar apel bersama dengan pihak resort dan tour guet untuk memberikan arahan kepada mahasiswa.
Setelah apel, masing mahasiswa yang dipimpin dosen pengampu mata kuliah langsung berpisah menuju lokasi masing-masing untuk mengambil data lapangan. Sejumlah mata kuliah yang dipraktik antara lain, mata kuliah Manajemen Hutan, Perlindungan Hutan, Sosiologi Kehutanan, Klimatologi, Ekologi Hutan, Silvikultur, Perhutanan Sosial, Satwa Liar, Dendrologi, HHBK dan Daerah Aliran Sungai. Sementara mahasiswa Program Studi Agribisnis melakukan praktik di lahan pertanian warga Trans Tayawi.
Setelah kurang lebih 6 jam di lapangan akhirnnya kegiatan praktikum terlaksana, meski banyak hal tak bisa dieksplor karena ruang gerak kita dibatasi untuk masuk debih jauh ke dalam kawasan hutan. Rombongan pun balik dari lokasi pada Minggu, 15 Desember 2024 pagi dan kembali ke Tidore.**