Tuli Lamo Kerajaan Loloda - Halmahera, Mustafa Mansur (kedua dari kanan) saat menjadi pembicara. (Istimewa) |
Kegiatan ini digelar oleh Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LKPASI) di Grand Hotel Paragaon Jakarta Barat, selama dua hari atau 22-24 Februari 2023.
Simposium dan Petisi tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan Hari Ulang Tahun (HUT) LKPASI yang ke-3, sejak dideklarasi pada tanggal 24 Februari 2020 di Jakarta melalui Ketua Dewan Pendiri YM. Prof. Dr. Juajir Soemardi Kertanegara, S.H., M.H., dari trah Kerajaan Singosari.
Lembaga yang diketuai oleh YM Datuk Juanda Datuk Bentara dari Kerajaan Padang Deli itu mengangkat tema Legenda dan Realita Seputar Penyerahan Kedaulatan dan Aset Kerajaan/Kesultanan pada Awal Kemerdekaan.
YM Datuk Juanda mengatakan, tujuan dari simposium dan petisi tersebut adalah mengingatkan kembali janji Presiden RI Ir. H Joko Widodo ketika mengundang dan bersilahturahmi dengan para Raja, Sultan dan Pemangku Adat dari seluruh Indonesia di Istana Bogor pada tahun 2018, untuk membahas masalah tanah Adat (ulayat).
Sementara itu, Tuli Lamo Kerajaan Loloda - Halmahera, Mustafa Mansur, menegaskan persoalan penyerahan kedaulatan dan aset kerajaan/kesultanan pada negara yang namanya Indonesia pada awal kemerdekaan masih menimbulkan pertanyaan sebagian raja, sultan (termasuk pemangku adat) terkait dengan perjanjian yang disepakati oleh para raja/sultan dengan para the Founding Fathers bangsa Indonesia. Ia mengatakan, berdasarkan fakta historis menunjukkan bahwa ada kerajaan/kesultanan/persekutuan masyarakat hukum adat, yang menyatakan bergabung dan ada pula yang digabungkan menjadi Indonesia.
Pada konteks itu, pria yang juga berprofesi dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Ternate ini bilang, terdapat perjanjian atau kesepakatan antara Founding Fathers dengan para raja/sultan yang menjadi legenda dan realita. Menjadi legenda karena masih terjadi simpang siur kesepakatan penyerahan kedaulatan dan aset kerajaan/kesultanan baik yang menyatakan bergabung maupun yang digabungkan menjadi Indonesia, sesuai dengan teks proklamsi kemerdekaan yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Muh. Hatta. Salah satu poin yang dapat dicatat dari semangat proklamsi adalah hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggrakan secara sekesama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pemindahan kekuasaan yang mengingat para raja/sultan seperti yang disepakati masih menimbulkan kontroversi di kalangan para raja dan sultan tersebut.
"Namun di balik itu, kita harus mengakui bahwa ada realita sejarah, bahwa kemerdekaan Indonesia dibangun di atas semangat yang sama untuk melawan sistem penjajahan Belanda, sehingga seluruh kerajaan/kesultanan dan kesatuan masyarakat hukum adat yang pernah berada di bawah penjajahan kolonial Belanda dinyatakan sebagai wilayah negara Indonesia," katanya.
Meskipun sudah ada PP Nomor 224 tahun 1961 yang mengaskan bahwa Tanah Swapraja diambil oleh negara dengan peruntukannya dibagi tiga, yakni: kepada pemerintah, masyarakat eks pemilik tanah swapraja yang diambil alih kepemilikannya untuk pemerintah, dan masyarakat diberikan ganti rugi yang diserahkan kepada ahli waris/pemiliknya.
"Namun fakta menunjukkan bahwa peruntukan kepada pemilik tidak jelas baik dalam bentuk kompensasi ganti rugi berupa uang maupun dalam bentuk obligasi. Dengan demikian maka tuntutan para raja/sultan, pemangku adat melalui petisi ini merupakan suatu keniscayaan," tegasnya.
Perlu diketahui, turut hadir sebagai pembicara, dari kalangan Akademisi, tampak YM Prof. Dr. Juajir Soemardi Kertanagara, Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Hasanudin yang memaparkan materi tentang Pengantar Umum Petisi dan Regulasi-regulasi Hukum; YM. Dr. Muhammad Dahrin La Ode, pakar politik Identitas dari Universitas Paramadina yang membawakan materi tentang konsep Trilogi Pribumisme; Prof. Dr. Ir. Teguh Warsito, Guru Besar Pertanian dari Universitas Brawijaya yang menampilkan presentasi terkait dengan potensi ketahanan pangan di atas kedaulatan tanah-tanah kerajaan dan kesultanan atau sejenisnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari kalangan praktisi dan pemerhati, tampak YM Dr. Eros Jarot dengan tajuk pembicaraan tentang “Berjuang untuk Perbaikan Kesejahteraan Rakyat; Wakil Ketua BIN, YM K.H. As’ad Said Ali yang berbicara tentang pendekatan konstitusional, serta Dr. HP Panggabean, mantan Hakim Agung RI.
Adapun dari perwakilan Raj/Sultan/Pemangku Adat, tampak PDYM SB. H.M. Yunus Abdullah R. Al-Haj (Radja Diraja Air Tiris Melayu Kampar); DYM Assyaidis Syarif Basir Abdul Jalil Syaifudin (Sultan Siak Sri Indrapura ke-13); DYM Tengku Parameswara (Yang Dipertuan Kesultanan Idragiri-Riau); DYM Mahmud Badaraudin IV Jayo Wikramo R.M. Fauwaz Prabu Diraja (Kesultanan Palembang Darusalam); YM Tuan Guru KRM Dr. (HC) Fekri Juliansyah, Ph.D (Mubungan Drajat Pemerintahan Adat Semende Darusalam - Ace); DYM Patuan Tondi Hasibuan, M.A. (Raja Huristak Padang Lawas, Sumut); DYM Muh. Sahril Amin (Raja Taliwang Koning van Sumbawa); YM Datu Raden Syah Agus Wiarawan Martakusuma (Wazir Jayakarta); YM Raden Mas Irawan Haryono Cakraningkrat (Keraton Semblangan Bangkalan Madura); DYM Agustadi (Ksultanan Kotawaringin); YM Chairun Mokoginta (Trah Kerajaan Bolaang Mongondow); YM Noh Saubaki (Raja Sonbai Kecil, NTT); YM Haimnuke Pina Ope Nope (Kerajaan Amanubun, NTT); dan beberapa perwakilan raja/sultan lainnya.*
====
Penulis : Tim
Editor : Irawan A. Lila
"Namun fakta menunjukkan bahwa peruntukan kepada pemilik tidak jelas baik dalam bentuk kompensasi ganti rugi berupa uang maupun dalam bentuk obligasi. Dengan demikian maka tuntutan para raja/sultan, pemangku adat melalui petisi ini merupakan suatu keniscayaan," tegasnya.
Perlu diketahui, turut hadir sebagai pembicara, dari kalangan Akademisi, tampak YM Prof. Dr. Juajir Soemardi Kertanagara, Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Hasanudin yang memaparkan materi tentang Pengantar Umum Petisi dan Regulasi-regulasi Hukum; YM. Dr. Muhammad Dahrin La Ode, pakar politik Identitas dari Universitas Paramadina yang membawakan materi tentang konsep Trilogi Pribumisme; Prof. Dr. Ir. Teguh Warsito, Guru Besar Pertanian dari Universitas Brawijaya yang menampilkan presentasi terkait dengan potensi ketahanan pangan di atas kedaulatan tanah-tanah kerajaan dan kesultanan atau sejenisnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari kalangan praktisi dan pemerhati, tampak YM Dr. Eros Jarot dengan tajuk pembicaraan tentang “Berjuang untuk Perbaikan Kesejahteraan Rakyat; Wakil Ketua BIN, YM K.H. As’ad Said Ali yang berbicara tentang pendekatan konstitusional, serta Dr. HP Panggabean, mantan Hakim Agung RI.
Adapun dari perwakilan Raj/Sultan/Pemangku Adat, tampak PDYM SB. H.M. Yunus Abdullah R. Al-Haj (Radja Diraja Air Tiris Melayu Kampar); DYM Assyaidis Syarif Basir Abdul Jalil Syaifudin (Sultan Siak Sri Indrapura ke-13); DYM Tengku Parameswara (Yang Dipertuan Kesultanan Idragiri-Riau); DYM Mahmud Badaraudin IV Jayo Wikramo R.M. Fauwaz Prabu Diraja (Kesultanan Palembang Darusalam); YM Tuan Guru KRM Dr. (HC) Fekri Juliansyah, Ph.D (Mubungan Drajat Pemerintahan Adat Semende Darusalam - Ace); DYM Patuan Tondi Hasibuan, M.A. (Raja Huristak Padang Lawas, Sumut); DYM Muh. Sahril Amin (Raja Taliwang Koning van Sumbawa); YM Datu Raden Syah Agus Wiarawan Martakusuma (Wazir Jayakarta); YM Raden Mas Irawan Haryono Cakraningkrat (Keraton Semblangan Bangkalan Madura); DYM Agustadi (Ksultanan Kotawaringin); YM Chairun Mokoginta (Trah Kerajaan Bolaang Mongondow); YM Noh Saubaki (Raja Sonbai Kecil, NTT); YM Haimnuke Pina Ope Nope (Kerajaan Amanubun, NTT); dan beberapa perwakilan raja/sultan lainnya.*
====
Penulis : Tim
Editor : Irawan A. Lila