Oleh: M. KUBAIS M. ZEEN
Editor dan Penulis Freelancers
“Sebuah mimpi takkan pernah jadi nyata karena sihir,dibutuhkan keringat, tekad, dan kerja keras.”-Colin Powell.
Lelaki itu berbaring di kursi sofa kuning yang mulai lusuh. Matanya terpejam. Kaos oblong dan celana pendek membalut sebagian besar tubuhnya. Ia terbangun setelah tiga kali saya memanggilnya dari pintu utama rumah. Jarak pintu ke kursi sofa di pojok kiri ruangan panjang itu hanya satu langkah orang dewasa. Kami berdua duduk di kursi, berhadapan. Di atas meja meubelir yang membatasi kami, ada sepotong kue, kopi susu dalam gelas kaca kecil masih setengah, dan tisu. Seorang perempuan berbusana muslimah nampak sibuk. Di dalam tiga bilik, suara beberapa lak-laki terdengar jelas sedang melakukan sesuatu, dan sejurus kemudian mereka keluar. Seorang di antara mereka yang sudah tau takaran kopiku, ingin meraciknya.
Tapi, teks dalam
desain baliho merah yang terpampang di dinding menghadap pintu utama itu benar-benar
menyita perhatianku. Di sana tertulis: “Media Brindo Grup, Meeting Room
brindonews.com, potretmalut.com, jelajahmalut.com.” Munawir Yakub –akrab disapa
Nawir, Koches, Ches yang kutemui malam itu hanya tersenyum membalas sanjunganku
atas kesuksesannya mendirikan tiga media. Si perempuan berhijab meletakkan di
depanku secangkir kopi hitam tak pahit yang ia buat sendiri. Dia sopan sekali,
ceria pula. ”Wartawan baru di sini,”sahut Ches, sejurus kemudian mengajakku
pindah ke ruang kerjanya yang baru selesai dipermak. Di atas meja sudut kanan,
ada novel Simon Toyne, Sanctus; Kelopak-kelopak
Jiwa karya Kahlil Gibran; Buku Saku
Wartawan dari Dewan Pers; dan buku Literary
Journalism.
Kurun waktu
lima tahun mendirikan tiga media online, bagi saya bukan sesuatu yang mudah
karena tak cukup hanya andalkan ide, uang, dan pengalaman. Melainkan pula tekad,
keberanian, manajemen, dan strategi. Cara
Ches bereksistensi kini berebeda dengan dulu.
Sulung dari
tiga bersaudara yang semuanya laki-laki itu, lahir pada 15 Januari 1988 di Desa
Tawa, Kasiruta Timur, Halmahera Selatan. Ibundanya, Aia S. Basrah seorang ibu
rumah tangga, ayahnya Yakub H. Hakim, bukan petani “berdasi” yang mengolah
pohon sagu—orang Maluku Utara menyebutnya “bahalo sagu,” untuk mengasapi dapur.
Ches belia diajari ayahnya bagimana menanam pohon pala, cengkeh, dan kelapa
hingga tamat sekolah dasar. “Ayah saya menggali tanah, saya yang memasukkan
tanaman-tanaman itu di dalamnya. Jadi saya punya kebun,”Ches tersenyum
mengenang sembari menunjukkan kedua tangannya kepadaku. Kopi susu yang sudah
setengah ia teguk lagi, asap tembakau mengepul dari mulutnya.
Sekalipun
begitu kondisi orangtuanya, ia ingin terus sekolah. Dengan sedikit keberanian
yang digenggam, anak “nakal” ini hijrah ke Ternate. Di Kota kecil ini, sekolah
sambil menjadi buruh di Pasar Gamalama ia lakoni selama enam tahun. Tapi
lembaran sekolahnya tidak menggembirakan. Terbuai dengan uang yang diperolehnya
dari peluh di Pasar itu, alpanya menumpuk di
SMP Negeri 5, Ternate. Lalu pindah dan tamatkan pendidikan di SMP Negeri
2, Bacan, Halmahera Selatan. Kemudian, diterima di SMA Negeri 4, Ternate.
Karena masih seperti di SMP, Ches menuntaskan pendidikan di SMA Alkhairaat,
Siko, Ternate. Itupun ujian pertama tak lulus, beruntung ada kebijakan
pemerintah ketika itu: siswa yang tak lulus ujian bisa mengulang. Ia pun
selamat. “Saya sekolah di dua SMP, dan dua SMA...hahahah,”asap tembakau ia
kepulkan lagi, sambil menggelengkan kepala yang “mahkotanya” tak menutupi
kuping seperti waktu kuliah di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU),
Ternate, yang ia tempuh selama 9 tahun enam bulan.
Keinginan
untuk kuliah ia tangguhkan selama dua tahun setelah tamat SMA Alkhairaat. Ches
mengembara di rimba Fak-fak, Irian/Papua, mencari kayu Gaharu. Sayang,
jelajahnya di rimba yang rawan ini tak berbuah manis. Tanpa pikir panjang, dia
balik haluan, menjadi juru masak (koki) di kapal Ona Raya, rute Ternate-Gane
Barat-Kayoa-Bacan. Hanya tujuh bulan ia di dapur ini.
Tahun 2007 Ches
diterima di Jurusan Sosiologi UMMU. Di jurusan yang “dihuni” mantan aktivis
zaman Orede Baru dan pembaca buku-buku berat nan serius itu, sebutlah Herman
Oesman, M. Rahmi Husen (Djoenaedy), dan Agus SB, dia mengenal beberapa nama
filsuf dan ilmuwan besar yang berpengaruh sepanjang sejarah. Friedrich Hegel,
Karl Marx, Max Weber, Emil Durkheim, Peter L. Berger, dan George Rizter. Dua
nama pertama yang paling ia rasakan kerumitan pemikiran mereka, sekalipun yang
lain juga tak gampang. Di lain waktu, saya mendapatinya membaca buku teori
interpretasi Paul Ricouer—filsuf fenomenologi yang pemikirannya tak kalah
mentereng dengan filsafat fenomenologi sekaliber Edmund Husserl, Martin
Heidegger, Edith Stein, Jean-Paul Sartre dan kekasihnya Simone de Beauvoir,
Maurice Merleau-Ponty, dan Jackues Derrida, sejak penghujung abad 19. Setiap
bertemu, ia masih menagih buku tentang Friedrich Niestzsche, yang sudah lama
kupinjam darinya...hehehe.
Di kampus
itu pula, pengagum berat Najwah Shihab tersebut mulai mengenal dunia
jurnalistik. Ia bergabung di Alkindi—media
yang dikelola mahasiswa lintas jurusan, tapi bukan peliput berita. Tenaga
periklanan. Jelang akhir studinya, Ches diterima sebagai wartawan di Posko
Malut, media cetak yang didirikan jurnalis senior Burhan Ismail. Cukup lama ia
berpeluh di sini, sempat dipercayakan menjadi fotografer, dan hampir tersayat
pedang saat memotret adu jotos dua tetangga kelurahan. Begitu pula demonstrasi
menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Teror dan ancaman sudah menjadi
hal biasa dalam kariernya.
Sebelum
memutuskan punya media sendiri, setelah pamit dari Posko, Ches menjadi
kontributor MNCTV, Kepala Biro Sindo Raya, wartawan Mata Publik, dan Seputar
Malut. Hal terpenting dari pengembaraannya di medan jurnalistik adalah belajar
bagaimana mengelola sebuah media. “Pucuk dicita, ulam pun tiba,” tahun 2016, Ches
mendirikan brindonews, potretmalut 2017, dan jelajahmalut, 2020. Jalan
berdikari ini mengingatkan saya pesan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg: ”Mengambil keputusan pasti ada resiko, tapi
tidak mengambil keputusan, resikonya jauh lebih besar.” Ketiga medianya
itu, dikelola orang berbeda, dan 9 jurnalis Brindo Grup sudah lulus Uji
Kompetensi Wartawan (UKW) dari Dewan Pers.
Sedari
belajar menanam, buruh pasar, mencari kayu Gaharu, juru masak kapal, jurnalis
dan punya media sendiri yang berkembang menajdi sebuah grup, oleh Rhenald
Kasali—salah satu dari 100 Guru Manajemen di Dunia, disebut self driving.
Ches bukan seorang passenger
(penumpang), melainkan driver. Ia
men-driver hidupnya, bodoh amat—kata
Mark Masson dengan penilaian atau persepsi orang lain terhadap dirinya, karena
“we must not allow other people’s limited perception to devine us,”tandas
Stephen Hawking.
Kendati sudah punya media grup media, Ches merambah lagi bisnis lain—oleh Gary Keller dan Jay Papasan disebut the one thing (satu hal terpenting), seperti pribahasa Rusia: “kita tidak mungkin mengejar dua kelinci di waktu yang bersamaan.””Saya melakukan sesuatu secara bertahap karena ingin merasakan sakitnya,”ujar Ches, saya membisu.
Penyuka lagu-lagu nostalgia terutama Tomy J Pisa itu berteguh dengan prinsip: memimpin tak boleh pelit, rajin bersedekah. Jika rezekinya pasang, beli makanan, dinikmati bersama karyawan di kantor. Kalau lagi surut, istrinya masak untuk dinikmati bersama pula. Kapital tak selamanya harus modal, melainkan pikiran dan tindakan, serta berbuat baik yang pada akhirnya tercipta suatu “ketergantungan.” Membangun kedisiplinan tidak dengan suara. Ia berkantor saat pasukannya masih berselimut. Seiring waktu, mereka “malu” sendiri, dan menyambut pagi lebih awal, agar “ayam tak mematok rezeki. J.Vance Cheney berkata,” jiwa tidak akan memiliki pelangi seandainya mata tidak dibasahi air mata.”***